All We Need Is… To Be Okay

Pernahkah merasa terkadang hidup terasa tidak adil dan menyenangkan dalam sehari? Seolah semua yang terjadi dalam sehari benar-benar tidak menyenangkan dan menguji kesabaran, yang mungkin selama ini tak pernah kita takar? Sabar, katanya memiliki batas dan kadar. Yang banyak orang bilang, tidak ada satu manusiapun di dunia yang bisa benar-benar sabar. Manusia, sosok yang seringkali disebut sebagai ciptaan paling sempurna diantara semua makhluk bumi. Dengan berbagai macam kelebihan, di lain sisi juga memiliki berjuta kekurangan yang tak ada habisnya.

“Some people say there’s no such a thing like perfection, in this world. Yet to me, lives are the series of imperfection which scattered around us. But if we try to stacking it patiently.. in the end, it will be a perfection..”

Sempurna itu adalah ketika kita bisa menerima segala kekurangan dan ketidaknyamanan yang ada dengan tetap bersyukur dan tersenyum. Sambil melihat kembali berbagai hal yang sudah kita raih. Karena memang tak ada yang lebih melegakan di dunia ini, selain memikirkan hal-hal indah. Itu dia kenapa banyak diantara kita sukar untuk keluar dari mimpi manis masa lalu dan melaju ke masa depan. Ke masa yang tak satu orang pun tahu akan bermuara kemana. Kembali ke kubangan kecil bernama masa lalu yang indah atau menuju samudera luas yang ujungnya mungkin tak bermuara. Kita semua senang dengan keindahan, kebahagian, kesempurnaan serta hal-hal yang dapat menyejukan dada lainnya. Siapa yang tidak? Dan pastinya kita tidak akan pernah senang dengan keburukan, kemalangan, ketidaksempurnaan serta hal-hal yang dapat menyesakkan dada lainnya. Wajar memang, sebab sedari lahir hal-hal serba “positif” itulah yang ditanamkan sebagai sebuah esensi sempurna dari kehidupan. Kita seolah terlena dan mengaggap hidup baru benar-benar hidup jika memiliki kualitas tersebut. Padahal sejatinya, hidup haruslah seperti yin dan yang. Ada baik, ada juga buruk. Ada terang, ada juga gelap. Karena tidak selamanya baik akan menuju terang dan buruk akan berakhir gelap. Serta tidak selamanya terang berarti menang dan gelap berarti meradang. Kembali ke pertanyaan awal. Pernahkah merasa terkadang hidup terasa tidak adil dan menyenangkan dalam sehari? Pasti semua pernah merasakan dan juga mengamininya. Namun pada akhirnya, kita juga meyakini bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Because in the end, all we need is to be okay. But the truth is, what we do is just pretend to be okay. Keep pretend :)”

Kecewa Itu Wajar

Berapa kali manusia mengalami kekecewaan? Pasti tak terhitung. Sejak keluar dari perut ibu hingga liang lahat. Gimana ga? Pas kelur dari perut ibu saja, terkadang ada orang tua yang harus kecewa karena menginginkan anak laki-laki atau perempuan tetapi yang lahir malah sebaliknya. Disyukuri? Harus. Karena tak ada satu pun di dunia ini yang terjadi tanpa alasan yang jelas di baliknya. Pernah kah bertanya kenapa kita terlahir di dunia ini dalam bentuk sekarang? Pasti pernah kan? Namun, apakah pernah kecewa dengan diri kalian sekarang? Semoga tidak. Saya sendiri tadinya termasuk orang yang gampang kecewa dan mungkin mengecewakan orang lain. Namanya manusia, pasti pernah salah atau melakukan tindakan yang di sengaja namun salah bukan? Jika tidak, mungkin kalian harus mengecek diri kalian baik-baik. Siapa tau yang lagi kalian lihat di cermin adalah Arnold Schwarznegger dalam film “The Terminator”. Serem sih kalo iya, bayangin bangun-bangun badan kita uda kayak kasur tiup hahaha.

Kecewa itu wajar, apalagi jika kita sangat mengharapkan sesuatu menjadi kenyataan. Itu dia kenapa kita dibekali tidak hanya perasaan tapi juga rasio. Manusia, yang katanya makhluk sempurna. Dibalik segala keinginan dan kepuasaan yang ingin diraih pasti terselip ambisi yang terkadang tidak selamanya berbuah positif. Misalnya, kita berharap punya karier di bidang politik akan tetapi malah berakhir menjadi seorang kuli tinta. Kecewa? Jangan. Karena sesungguhnya sesuatu yang terjadi di diri kita tidak terjadi secara kebetulan dan begitu saja. Sebab selama proses kita menuju cita-cita yang kita inginkan bisa jadi kita tidak melihat bahwa sebenernya banyak tanda-tanda yang mengarahkan kita pada hal lain, namun sering kali kita abaikan. Tidak salah, bisa jadi bila kita mengikuti tanda-tanda lain, malah mengarahkan kita ke arah yang lain, yang mungkin malah lebih melenceng dari apa yang kita cita-cita kan sebelumnya. Iya kan?! Lagipula kuli tinta juga masih bisa membahas tentang politik atau mengkritisi jalannya pemerintahan bukan? Jadi masih tetap sesuai dengan jalur atau mimpi yang diinginkan, namun dengan cara lain. Intinya? Tetap ada di jalur yang kita cita-citakan.

Hidup susah ditebak? Memang. Itu dia kenapa jangan pernah berusaha menebak hal-hal yang tidak pasti, seperti perasaan misalnya. Oke, stop. Kita tidak membahas cinta di sini, karena cinta akan tetap di kacangin Rangga sampe kiamat datang sekalipun. Jadi daripada terus menerus mengecewakan diri sendiri dan orang lain, ada baiknya kita lebih mensyukuri apa yang kita dapat dan peroleh saat ini. Sebab tanpa adanya rasa bersyukur, bisa jadi kita akan menjadi manusia egois yang hanya ingat akan diri sendiri dan acap kali lupa bahwa kita tidak sendiri di dunia ini. Oleh karena itu, sebisa mungkin jadi lah orang yang ikhlas dan bersyukur. Sebab, di setiap kekecewaan pasti akan ada kegembiraan. Dan ketika kegembiraan itu datang, tetap lah bersyukur dan merunduk ke bawah. Karena sesungguhnya, tak semua orang bisa memiliki apa yang kita capai sekarang. Liat lah sekitar, maka kita akan tau bahwa kekecewaan itu tak akan hadir bila kita terus menyematkan ikhlas di dalam hati. Yaitu ikhlas dalam menerima segala keadaan. Susah maupun senang. Karena keberhasilan bukan lah tujuan, namun proses menuju keberhasilan lah yang harusnya kita hargai dan nikmati selagi bisa. Dan saya bersyukur untuk itu semua selama tahun 2014 ke belakang. Selamat datang 2015. Selamat hidup kawan!

photo (1)

The Key To A Happy Marriage is…

marriage-quotesmarriage-is-the-key-to-happiness-marriage-quotes-just-happy-quotes-hbho8v0t

 

Terkadang, ada hal yang harus dibiarkan tanpa perlu digugat. Namun, terkadang ada hal yang harus dibicarakan dan didiskusikan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang masih menggantung. Tapi apa jadinya jika pertanyaan yang menggantung, memang sengaja dibiarkan begitu saja dan tidak ingin dibacarakan lebih lanjut?

Seperti masalah prinsip misalnya? Saya salah satu orang yang sangat terganggu dengan obrolan seputar prinsip atau kepercayaan. Ini tidak berarti saya tidak siap atau mau menerima masukan dan kritikan, akan tetapi ada baiknya prinsip yang ada dihormati dan tidak berusaha diutak-atik untuk hal yang belum tentu memberikan kebahagian dan kedamaian hati. Sejujurnya, peduli dengan apa yang dikatakan orang, benar-benar membuat saya risih dan ingin menyudahi semua pembicaraan yang sedang dibangun. Pembicaraan mengenai keharusan untuk menikah agar menghindari fitnah dan lain-lain malah membuat saya lebih jengkel lagi. Kenapa pernikahan menjadi hal yang sangat esensial dan penting? Iya saya tahu, jika membicarakan agama, pernikahan itu adalah hal yang diharuskan karena berkaitan erat dengan kewajiban kita sebagai umat. Akan tetapi, alangkah sedih bila pernikahan yang harusnya dilandasi dengan “yang katanya” cinta dan ibadah harus berakhir dengan perpisahan. Saya bukan orang yang menolak sistem pernikahan, tapi juga bukan orang yang mewajibkan pernikahan untuk masuk ke dalam bucket list hidup saya. Sebab pada akhirnya, pernikahan adalah salah satu ibadah yang cukup besar dan harus dijaga kesakralannya hingga akhir hayat. Jika ditengah nanti kita merasa bahwa menikah tidak se-membahagiakan seperti film drama favorit, mau dibawa kemana segala janji diawal pernikahan yang diucapkan dengan membawa nama sang Pencipta?

Dengan demikian, ada baiknya pernikahan itu ditujukan untuk orang-orang yang mampu dan siap, seperti hal nya kita membicarakan tentang ibadah haji. Wajib dilakukan bagi yang mampu. Daripada nantinya berujung pada kesiapan semu yang hanya mengejar pengakuan dan menghindari pembicaran. Buat apa menikah kalau yang dikejar hanya pengakuan semu dan usaha untuk memberikan kepuasan bagi orang sekitar, tapi tidak untuk diri sendiri? Karena sesungguhnya, hidup itu hadir untuk dinikmati, bukan untuk diberi tambahan beban yang terkadang tidak perlu ditambahkan lagi. Marriage is good, but not that good if you’re not ready.

“Surga” Di Belahan Lain Jakarta

Sebulan yang lalu, tanpa tedeng aling-aling teman saya mengabarkan akan melakukan short trip ke Pulau Seribu. Alasannya sederhana, ingin berlibur tapi tidak punya waktu dan dana lebih untuk pergi ke destinasi yang lebih jauh. Dia mengajak saya kurang dari 5 hari sebelum hari keberangkatan. Gila?! Memang. Saya rasa dia punya masalah dengan kejiwaannya. Masih labil, layaknya anak baru gede. Berhubung dana yang harus dikeluarkan hanya 350 ribu rupiah untuk 2 hari 1 malam dan saya punya waktu kosong di weekend, akhirnya saya memutuskan untuk bergabung di trip ini. Kapan lagi melihat salah satu keindahan Jakarta dari perspektif lain? Mungkin ini saatnya, saya membatin.

Tepat tanggal 24 Agustus lalu, dermaga Muara Angke dijadikan meeting point untuk mengumpulkan semua peserta trip, yang mana belum pernah bertemu sebelumnya. Ini juga pertama kalinya saya menyambangi Muara Angke, dan saya cukup kaget dengan keadaan yang saya saksikan. Jalanan disekitar Angke menuju dermaga sudah tergenang. Bau anyir serta amis dari ikan yang baru diturunkan dari kapal nelayan benar-benar menusuk hingga ke pangkal hidung. Sepertinya prediksi Jakarta akan tenggelam dalam waktu 20 tahun kedepan bisa jadi kenyataan bila genangan di sekitar dermaga muara angke tidak ditanggulangi dalam waktu dekat. Jam 5 pagi semua peserta diharapkan sudah berkumpul, sebab jam 6 kapal yang kami tumpangi diharuskan sudah lepas landas dari dermaga. Tapi seperti biasa, Indonesia, kapal baru berangkat sekitar jam 7 lewat.

Ini adalah kapal yang kami tumpangi untuk menuju ke Pulau Harapan:

Image

Sunrise di Dermaga Muara angke:

Image

Dengan harga trip sebesar 350 ribu rupiah fasilitas yang di dapat cukup memuaskan. Awalnya, kita diberangkatkan dari Muara Angke ke Pulau Harapan. Salah satu pulau besar dalam gugusan Pulau Seribu, selain Pulau Pramuka. Setelah berhimpit-himpitan dengan para pelancong dan penduduk pulau selama kurang lebih 3 jam, akhirnya kapal bersandar di dermaga Pulau Harapan. Disini kami beristirahat sejenak sambil makan siang. Ini juga termasuk di dalam paket yang sudah dibayarkan. Murah kan? Tapi jangan berharap makanan yang tersedia model prasmanan yang super mewah layaknya restoran bintang lima ya, hehehe. Tapi untuk ukuran nasi kotak rasanya cukup melenakan. Setelah bersantai sejenak sehabis makan siang, kami harus melanjutkan perjalanan kembali menuju pulau yang akan kami sambangi, yaitu Pulau Bira Besar yang memakan waktu kurang lebih 45 menit dari Pulau Harapan.

Kami menuju Pulau Bira Besar dengan menggunakan kapal kecil yang biasa digunakan nelayan untuk mencari ikan Selama perjalanan ke Pulau Bira, pemandangan di beberapa pulau yang kami lewati cukup membuat kami kagum dan terkaget-kaget. Sebab, sebelumnya saya tidak pernah menyangka akan menyaksikan laut yang bersih dan pemandangan yang asri di bagian lain Jakarta. Jakarta yang selama ini kotor,dan penuh polusi di dalam ingatan saya, perlahan pudar. Digantikan dengan ketakjuban dan ekspresi keheranan menyaksikan sebuah “surga” kecil yang selama ini luput dari pandangan, yang juga merupakan bagian dari Jakarta. Sesampainya di Pulau Bira kekagetan saya semakin bertambah. Pemandangan yang tidak pernah saya harapkan dapat saya lihat di Jakarta, justru sedang saya saksikan di depan mata saya. Pulau yang dulunya merupakan ex-private island ini masih menyajikan keindahan masa-masa kejayaannya di masa lalu sebelum akhirnya gulung tikar. Dermaga yang bersih dan hamparan pasir putih serta demburan ombak yang syahdu serasa menyambut kedatangan kami. Sesampainya disana, saya sempatkan untuk mengelilingi pulau yang katanya bisa dikelilingi hanya dalam waktu 30 menit dengan berjalan kaki. Deretan cottage yang masih terlihat bagus berbaris rapih dipayungi pohon kelapa dan beberapa pohon besar yang menambah syahdunya semilir angin yang menyapu kulit. Setelah beberapa lama berjalan, saya menemukan kolam renang cukup besar yang sekarang beralih fungsi menjadi rumah lumut dan jentik nyamuk. Tidak jauh dari cottage tempat saya menginap, kemudian saya menemukan helipad yang dulunya difungsikan untuk mendaratkan helikopter bagi pelancong kelas atas yang tidak punya waktu lebih untuk menggunakan kapal. Kurang lebih 50 meter dari helipad, saya kembali menemukan spot menarik, dermaga yang khusus untuk melihat bintang sambil disirami cahaya bulan. Tapi dari semua yang saya lihat, cuma satu yang menarik perhatian saya, yaitu lapangan golf 9 holes yang juga menjadi salah satu fasilitas yang tersedia di pulau ini. Takjub? Sama. Ternyata, usut punya usut. Dulunya pulau ini adalah milik trah Cendana. Mhmmm, no wonder ya?!

Dermaga di Pulau Bira Besar:

Image

Image

View di depan Cottage:

Image

Image

Beberapa views dari Island HoppingImage

 

 

 

 

 

 

Image

Image

Image

Keindahan Pulau seribu ternyata tidak hanya berhenti di Pulau Bira Besar, sebab pulau lain di gugusan Pulau Seribu masih banyak menyimpan keindahan yang tidak kalah mencengangkannya. Selama island hopping, sembari snorkeling, kami juga berhenti di beberapa pulau dan menikmati keindahan yang tak pernah terbayang sebelumnya. Lalu ditutup dengan sunset yang membuat mata menjadi teduh dan berbinar karenanya. Siapa sangka, Jakarta yang selama ini disebut surga dunia, juga memiliki “surga” lain yang masih menyimpan kekayaan dan keindahan yang tak kalah dengan tujuan wisata lainnya. Siapa bilang Jakarta hanya berisi hutan besi?

Jailolo: The Hidden Treasure of Indonesia

Tulisan ini diikutkan dalam “Jailolo, I’m Coming!” Blog Contest yang diselenggarakan oleh Festival Teluk Jailolo dan Wego Indonesia

Bila berbicara tentang keindahan Indonesia, rasa-rasanya kita tidak akan pernah bisa menemukan awal maupun akhirnya. Mulai dari keragaman suku, tradisi dan budaya, kelezatan kuliner, hingga keindahan alam maha dahsyat yang tiada batasnya, semua ada dalam satu tempat yang disebut, Indonesia. Akan tetapi, selama ini kita seperti berada dalam labirin sempit setiap ditanyakan akan berlibur kemana. Padahal keindahan serta keberagaman yang dimiliki Indonesia sangatlah banyak dan tak terkira jumlah serta keindahannya. Namun, acapkali membicarakan tentang destinasi liburan, yang lagi-lagi tersebut adalah Bali dan primadona baru destinasi wisata Indonesia, yaitu Lombok dengan beberapa pulau atau gili yang ada di dalamnya. Bosan? Bisa jadi iya. Tapi apa daya, karena kedua tempat wisata ini yang paling sering dibicarakan, tidak hanya dalam dunia nyata tapi juga maya. Jika ditanya tentang kesiapan menerima kunjungan wisata, mungkin Bali dan Lombok bisa dibilang paling siap karena setiap tahunnya selalu menerima wisatawan asing maupun lokal yang silih berganti mengisi setiap sudut indah kedua destinasi wisata tersebut. Sayang memang, padahal, beberapa destinasi wisata lain di Indonesia juga memiliki kesiapan yang sama dengan Bali dan Lombok, namun acapkali gagal dalam pengeksekusian dan mempromosikan destinasi wisatanya dengan baik.

Kalau sudah begini, harusnya destinasi wisata lain yang cukup potensial di Indonesia tidak hanya menunggu momen akan tetapi mengambil momen yang ada. Kesohoran Bali dan Lombok di seluruh dunia harusnya bisa dijadikan momentum yang pas untuk menarik minat wisatawan mengeksplorasi destinasi wisata unik lainnya di Indonesia, seperti Jailolo misalnya. Dengan keberagaman tradisi, keunikan dan eksotisme kuliner yang terlihat dari keberagaman rempah-rempah yang ada, serta keindahan alam yang tak kalah luar biasanya, harusnya Jailolo bisa menjadi salah satu destinasi wajib yang patut dikunjungi jika ingin merasakan sisi lain Indonesia. Suatu hal tidak akan menjadi besar jika tidak dibicarakan dan dirasakan langsung oleh penikmatnya, begitu juga dengan Jailolo. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membuat Jailolo sama hot-nya seperti Bali dan Lombok adalah dengan mengundang langsung para travel blogger dari mancanegara untuk merasakan langsung keindahan serta ke-eksotisan Jailolo. Kenapa travel blogger? Karena sadar ataupun tidak, mereka memberikan banyak pengaruh buat kita, para wisatawan, untuk datang ketempat yang belum pernah didengar dan dirasakan sebelumnya. Sebab testimonial dari para travel blogger sama pentingnya dengan fungsi marketer yang berusaha meyakinkan konsumennya agar menggunakan produk yang mereka tawarkan. Apalagi di era informatika yang bebas dan luas ini, paling tidak semua orang dari belahan dunia manapun dapat “melihat” serta “merasakan” keindahan Jailolo meskipun hanya melalui foto dan cerita pengalaman para travel blogger tersebut. Dengan demikian, para wisatawan akan tergerak untuk berkomentar dan merekam Jailolo di dalam ingatan sebagai destinasi menarik yang harus dimasukan kedalam bucket list di trip mereka selanjutnya.

Cara selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan aktif memberikan informasi seputar Jailolo di berbagai media cetak, elektronik dan media sosial. Mulai dari cara menuju ke berbagai tempat menarik yang harus dikunjungi, akomodasi dari dan menuju ke Jailolo, serta berapa banyak budget yang harus dikeluarkan wisatawan untuk menghabiskan waktu dari dan menuju ketempat tujuan yang diinginkan. Selain itu, jaminan kemanan dan juga kerjasama dengan para penduduk lokal pun perlu dilakukan. Semisal dengan rutin melakukan atraksi-atraksi budaya yang dilakukan secara berkala dan lebih mengeksplorasi kebudayaan lokal agar memberikan pengalaman yang berbeda bagi para wisatawan ketika berada di Jailolo, tidak hanya Festival Teluk Jailolo tentunya. Setelah semuanya sudah dirasakan siap dan berkesinambungan, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan kerjasama dengan berbagai maskapai penerbangan. Seperti memberikan penawaran tiket murah di musim liburan atau membuat paket-paket wisata yang bersahabat dengan kantong wisatawan asing maupun lokal. Karena sadar ataupun tidak, promo yang dibuat oleh maskapai penerbangan sangat mempengaruhi minat wisatawan untuk datang ke suatu tempat. Sebab terkadang, perbedaan harga yang mencolok antar destinasi wisata bisa membuat suatu destinasi menjadi kurang begitu dilirik karena dianggap tidak bersahabat dengan kantong. Apalah artinya sebuah keindahan bila sulit digapai oleh kita sebagai penikmatnya? Maka ia hanya akan berakhir sebagai sebuah mitos yang hanya mampu dibicarakan tanpa bisa dirasakan. Oleh sebab itu saya ingin merasakan langsung keindahan Jailolo, yang selama ini cerita tentang kemegahannya hanya saya dapat dari cerita mulut ke mulut dan tulisan. Agar nantinya cerita tentang keindahan Jailolo tidak hanya terekam sebagai sebuah mitos di dalam ingatan saya, namun menjadi sebuah jejak indah yang bisa diceritakan kembali ke generasi mendatang.

Life. Oh. Life.

Life is always full of intrigues and surprises. We never know what will happen in the next hour, day or even year. That’s why sometimes we said life is never easy to do. So because of that, as a person, we should ready for everything that will happen in our life. In a minute we can feel so excited and happy with ourselves, but in the next minute, we can be so sad and mad in one blink. As simple as that.
Same like others, as a person, sometimes I feel like many of us. Sure, all of us ever feel so extremely happy and in the next flicker we can be so devastating and sad. But like of many wise men says, “Life is not always firmed and perfect like we want, because the core of life is just following the waves and enjoy the process”. Why we could accept and celebrate the happy thing but couldn’t accept the sad thing? Are we that selfish? Wants feel the happiness but not the sadness?
If we can be fair with ourselves, sometimes we need to feel the sadness and pain then enjoy it, same like when we feel the happiness and joy. Even though, good and bad thing always comes in sudden, but it depends on us how to handle it. Tried to enjoy it or be grumpy all the time. I know I’m not a saint and so does you. But at least, be grateful for what you’ve got and enjoy all the process what “life’s” bestowed to you. Being grumpy is not going to finish the problem, but rather made the situation worse. Than make you sick and the blood pressure being high, why not enjoy all the good and bad things in a good way. At the end, all the experiences that we’ve been through is something that make us be a better person, someday. Feel blessed for everything you’ve had is the only key to make you relieved and satisfied as a whole person.

*Ps: “If you found grammatically wrong, just tell me. I’m so okay with input, because this is my first post in English… and Grammar Nazi is everywhere. So if you found something disturbing in here, just spit it! Thanks”. 🙂

Jailolo, Si Pulau Rempah

Berlibur adalah salah satu cara untuk melepas penat dari segala kesibukan serta hiruk-pikuk yang kita rasakan sejak bangun hingga kembali lagi ke peraduan. Banyak yang tidak menyadari bahwa liburan adalah salah satu ritual yang sama pentingnya seperti tidur dan juga mandi. Ya, mandi. Mungkin diantara kita tidak menyadari bahwa mandi adalah salah satu ritual yang cukup sederhana namun ampuh untuk menenangkan diri sekaligus melepaskan penat setelah seharian beraktivitas. Akan tetapi dari kedua ritual tersebut, berlibur adalah ritual besar yang harusnya dilakukan oleh semua umat manusia, paling tidak setahun dua atau tiga kali. Sebab dengan berlibur, kita dapat mendapatkan sudut pandang baru dalam memandang hidup sekaligus mengigat kembali esensi dari hidup itu sendiri, kembali ke alam dan larut bersamanya.

Namun terkadang, banyak dari kita yang sulit untuk berlibur dengan alasan yang beragam. Mulai dari pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, kebutuhan yang harus ditunaikan karena dianggap lebih mendesak daripada harus melakukan liburan, hingga permasalahan paling dasar, yaitu takut untuk berlibur sendiri karena keamanan yang kurang terjamin dan minimnya informasi mengenai destinasi wisata yang ada, sehingga memberikan kebingungan dan berakhir dengan batalnya berlibur. Beberapa alasan di atas pasti sering terlintas di kepala kita, termasuk saya. Akan tetapi, semua itu berubah setelah saya berani memutuskan untuk berlibur sendiri dan bertemu dengan banyak pengalaman serta orang baru, yang kemudian membuat saya ingin melakukannya lagi dan lagi.

Alasan saya ingin mengikuti Festival Teluk Jailolo 2012 ini mungkin akan terdengar klise, sebab keindahan alam Jailolo yang saya lihat di beberapa website dan juga cerita dari beberapa teman lah yang membuat saya ingin merasakannya secara langsung. Menghirup segarnya udara pantai Jailolo yang dikelilingi oleh beberapa gunung, tentunya akan menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan untuk mata dan juga hati saya. Disamping itu, adat istiadat unik yang masih dilestarikan oleh saudara-saudara di Jailolo juga menambah penasaran saya untuk dapat berada di sana. Jailolo yang dikelilingi oleh pantai, anehnya tidak membuat penduduknya memilih menjadi nelayan, melainkan petani. Hal ini juga lah yang membuat saya tertarik mengetahui lebih banyak tentang adat istiadat Jailolo yang dikenal sangat beragam dan penuh dengan toleransi serta banyak hal lain yang tidak dapat dikatakan dengan kata-kata yang pasti akan lebih berkesan bila dinikmati secara langsung. Namun, yang paling penting dari semua itu, sebagai seorang Indonesia terkadang saya malu melihat bagaimana seorang asing dapat menjelaskan destinasi wisata di negeri ini jauh lebih baik dan detail dari orang Indonesia itu sendiri. Hal ini sekaligus membuat saya mempertanyakan ke-Indonesiaan saya. Ironis memang, tapi itu lah yang terjadi saat ini. Dengan alasan ini, saya semakin ingin melihat sisi lain dari Indonesia yang belum pernah saya kunjungi dan lihat sebelumnya, sehingga sebagai orang Indonesia, saya bisa menceritakan tentang negara saya lebih baik daripada asing.

Bila saya mendapatkan kesempatan untuk berada di Halmahera Barat, hal yang pasti dilakukan adalah larut bersama saudara-saudara di Halmahera Barat dalam kemeriahaan sebuah festival yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Menikmati tempat yang dulunya sempat menjadi rebutan para penjajah karena kekayaan alam dan sumber daya nya ini tidak akan lengkap bila tidak melihat secara langsung aneka rempah-rempah yang menjadi primadona, bahkan dianggap sama berharganya dengan emas kala itu. Keindahan bawah laut Halmahera Barat yang masih jarang dijamah, pastinya akan memberikan pengalaman yang tidak akan terlupakan dan membuat hati berdecak kagum mengagumi keindahan ciptaan-Nya. Berenang diantara karang dan ikan-ikan beraneka warna, sambil sesekali bermain air sudah pasti menjadi agenda wajib yang harus dilakukan. Melihat keberagamaan serta keunikan tradisi yang ada, barang tentu bukan pengalaman yang bisa diperoleh dalam kesehariaan, mengunjungi berbagai desa yang ada dan dengan tradisi masing-masing akan memberikan nilai baru dalam memandang hidup, seperti merasakan tradisi makan bersama di rumah adat dan menyaksikan secara langsung tarian Legu Salau. Kemudian berkunjung ke desa Wago Ngira yang masih menggunakan anyaman dedaunan sebagai baju dan melihat tradisi yang masih terjaga sekaligus melihat prosesi-prosesi adat yang masih dijalankan. Misalnya, seperti melakukan evaluasi hidup kepada setiap penduduk yang sudah memasuki usia 25 dan kelipatannya sudah pasti memberikan nilai tersendiri bagi kita untuk memaknai hidup. Berkeliling menyaksikan sisa-sisa peninggalan penjajahan dan melihat benteng-benteng serta bangunan-bangunan lampau rasanya akan memberikan kita bayangan tentang keadaan yang terjadi kala itu, pastinya akan membawa kita menerawang jauh ke masa rempah-rempah masih menjadi rebutan bagi setiap koloni yang pernah berdiam disini. Sungguh perjalanan yang amat menyenangkan bila kita bisa merasakan langsung hal-hal yang sudah pasti sulit kita temukan dalam kesehariaan.

Untuk menggambarkan keindahan serta keberagaman yang ada di Halmahera akan sangat sulit rasanya, sebab begitu banyak hal-hal indah yang harus di lihat langsung dengan pandangan mata. Bila saya diberikan kesempatan untuk berkunjung ke Halmahera, tempat pertama yang akan saya kunjungi adalah Jailolo itu sendiri. Seperti yang kita tahu, Jailolo memiliki keindahan alam pegunungan sekaligus pantai. Selain itu, suku yang berdiam di Jailolo juga sangat beragam dan pastinya memiliki keunikan tradisinya masing-masing. Namun suku asli yang pertama kali berdiam disana adalah suku Wayoli, yang sudah pasti memiliki tradisi yang tidak kalah unik. Desa Lolori, Tolosa dan Tondowongi akan menjadi tujuan berikutnya, sebab jika beruntung kita dapat mengikuti upacara makan bersama di Sasadu (Rumah Adat). Ketiga desa ini memiliki keunikannya masing-masing, Di Desa Lolori, Kepala adat dan Dewan Adat tidak dipilih oleh masyarakat, melainkan dari garis keturunan sehingga hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kita, jika kebetulan sedang diadakan pemilihan ketika berkunjung. Destinasi berikutnya adalah desa Mutui yang dapat ditempuh dalam waktu 30 menit menggunakan Katinting dari Jailolo. Disini kita dapat melihat perkebunan pala, cengkih dan kopra yang menjadi sumber pemasukan utama desa ini. Setelah meelihat rempah-rempah di Mutui, destinasi terdekat dari Halmahera Barat adalah Desa Susupu, yang memakan waktu 45 menit menggunakan mobil pribadi. Di desa ini, pantai menjadi objek utama yang dapat kita nikmati, sebab sudah ada beberapa fasilitas yang di bangun pemerintah setempat dan memudahkan kita untuk menikmati keindahan laut yang ada dengan cara snorkeling dan diving.

Desa berikutnya yang akan menjadi tujuan saya adalah desa Akediri, di sini kita dapat melihat Rumah Adat yang berada di samping pasar, yang mana menjadi daya tarik tersendiri, sebab kita dapat melihat masyarakat berkumpul dan bermusyawarah sembari melihat kesibukan pasar. Melihat keindahan Jailolo dan masyarakatnya tidak akan lengkap bila tidak mengunjungi Desa Wago Ngira di Halmahera Utara yang memiliki agama dan tradisi yang unik. Masyarakat Wago Ngira masih menggunakan daun, khususnya daun pandan untuk menutup anggota tubuh mereka dan menggantinya setiap beberapa hari sekali. Namun, yang menjadi daya tarik utama dari desa ini adalah kehidupan masyarakatnya yang masih tertutup dan menjaga tradisi, serta memiliki agama sendiri, yaitu Agama Wago Ngira. Yang mana prinsip Agama Wago Ngira tidak peduli dengan kehidupan diluar mereka dan lebih memilih mengalah daripada menghadapi masalah dengan dunia diluar mereka. Ini terlihat dari setiap pengunjung yang ingin menginap di sini akan disediakan tempat yang terpisah dari kegiatan beraktivitas mereka dan kita akan di sediakan bahan makan yang harus dimasak sendiri. Kemudian destinasi terakhir yang akan saya kunjungi adalah situs budaya Benteng Toluko dan Nostre Senora De Rosario. Benteng Toluko adalah benteng pertama yang didirikan Portugis, yang dulu bernama Benteng Santo Lukas. Benteng ini dulu dibangun untuk mengintai musuh yang akan datang ke Ternate. Selain Benteng Toluko, ada Benteng Nostre De Rosaria atau lebih di kenal dengan nama Benteng Castela yang dibangun oleh Portugis di Kota Jadi. Dari kedua benteng ini kita dapat melihat kejadian yang pernah terjadi selama masa penjajahan di bumi Halmahera. Semua keindahan ini bisa jadi dapat kita nikmati selama kurang lebih seminggu, meskipun masih akan merasa kurang. Tapi yang pasti, bila saya terpilih dan diberangkatkan ke Festival Teluk Jailolo sudah barang tentu akan menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan sekaligus akan membuat saya lebih tahu lagi tentang keberagaman yang ada di Indonesia beserta keunikannya dan akan menceritakannya kepada yang lain, dengan harapan dapat terpanggil untuk melakukan wisata dan menikmati secara langsung keindahan Jailolo, si pulau rempah.

Pride and Prejudice?

Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menyikapi hidup. Ada yang terlihat ekspresif dan penuh nafsu, namun tidak sedikit pula yang menghadapinya dengan tenang dan penuh pengahayatan. Sebagai orang yang masuk dalam kategori kedua, terkadang saya dibuat bingung oleh “keharusan” yang mengakar di masyarakat. “Keharusan” yang seolah tercantum dalam traktat hukum mengenai relasi antar manusia. Apakah memang manusia yang utuh harus memperlihatkan semua yang dirasakannya? Bagaimana mereka yang tidak melakukannya? Apakah lantas mereka masuk kedalam kategori benda tak bergerak yang tidak mempunyai perasaan layaknya robot? Mungkin banyak yang akan menjawab “Ya!” Lantas apa perasaan itu sendiri? Bagaimana seseorang dapat mendefinisikan perasaan orang lain, sementara perasaan setiap orang itu berbeda dan tak berwujud. Biasanya yang banyak dilakukan adalah memberikan prasangka terhadap apa yang dialami orang tersebut. Benar? Belum tentu, sebab seperti kata pepatah “Luas lautan dapat ditebak, perasaan orang siapa yang tahu?” Supaya lebih jelas tentang definisi perasaan, maka saya mencarinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan inilah definisi dari kata tersebut:

 

Perasaan pe.ra.sa.an
[n] (1) hasil atau perbuatan merasa dng pancaindra: bagaimanakah menurut ~ mu, badan saya panas ataukah dingin?; (2) rasa atau keadaan batin sewaktu menghadapi (merasai) sesuatu: bekerja dng ~ gembira, hasilnya akan memuaskan; (3) kesanggupan untuk merasa atau merasai: sangat tajam ~ nya; (4) pertimbangan batin (hati) atas sesuatu; pendapat: pd ~ ku, itu tidak benar

 

Setelah melihat definisi di atas, saya menyimpulkan bahwa perasaan itu tidak dapat dilihat apalagi dirasakan oleh orang lain yang tidak merasakan perasaan tersebut. Namun yang sering terjadi, sebagian orang terlihat seolah lebih tahu perasaan yang dirasakan orang lain daripada si penikmat rasa itu sendiri. Kata

Should we?

yang paling tepat untuk mewakili si “sok tahu” tersebut adalah sebuah prasangka yang kemudian berlanjut pada putusan. Setiap orang berhak berprasangka, namun tidak semua prasangka itu berujung kebenaran. Semua yang terlihat tidak ekspresif belum tentu tidak merasakan senang ataupun sedih dan tidak semua yang terlihat ekspresif benar-benar menunjukkan perasaan yang dirasakannya. Sebelum semuanya terlambat, ada baiknya, kita yang suka berprasangka menunda terlebih dahulu putusan yang ingin kita buat. Sebab, tidak semua yang terlihat itu nyata dan yang tak terlihat itu maya. Daripada sibuk menebak-nebak perasaan orang lain, ada baiknya kita menata perasaan kita terlebih dahulu. Sudah benarkah setiap ekspresi yang dilontarkan mewakili perasaan kita?  Dan harus kah setiap perasaan dilontarkan secara ekspresif? Jika kita merasa lebih “hidup” dengan ke-ekspresifan tersebut, silahkan lanjutkan dan terima konsekuensi yang akan terjadi bila ekspresi tersebut akan berbalik menyerang. Jadi, daripada harus repot memperlihatkan ke orang lain, akan lebih arif jika kita menyimpan segala perasaan tersebut dengan penghayatan. Sehingga ketika kesenangan atau kesedihan yang kita rasakan sebelumnya kemudian berubah, kita tidak akan berakhir dengan kalimat: “Maaf, sepertinya perasaan saya salah. Boleh kah saya mengulang ekspresi saya lagi?” Tidak lucu bukan?

The Hardest Part In Life Is…. To Say, Goodbye!

Apa yang kita rasakan ketika mendengar kata “Goodbye?” Pasti banyak diantara kita yang mungkin akan menjawab sedih, tidak rela, dan takut. Sebenarnya, jika dilihat dengan jernih, kata tersebut tidak bersifat negatif dan ‘menyeramkan’. Namun, banyak diantara kita yang merasa kata tersebut seperti sebuah momok menakutkan yang tidak boleh terucap barang sedikit pun. Lantas, kapan sebenarnya kata ini harus diucapkan? Bagi orang-orang yang tidak siap menerima perubahan dan kehilangan di dalam hidupnya pasti akan menjawab “Tidak akan pernah dan haram untuk diucapkan”. Tapi pernahkah kita memikirkan apa jadinya jika kata ini benar-benar hilang dan diharamkan? Dapat dipastikan kita akan berada dalam sebuah labirin kompleks tak berujung yang akhirnya membuat kita berada dalam titik pasrah dan kemudian berhenti untuk mencari jalan keluar. Nyaman? Mungkin akan menjadi kata yang tepat untuk mewakilinya. Akan tetapi, nyaman tidak akan dapat memberikan manusia pengetahuan baru tentang dunia diluar dirinya. Karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang harus siap untuk merasakan sedih ataupun senang, karena hal inilah yang membuat manusia benar-benar menjadi seorang manusia seutuhnya. Siap ataupun tidak, kita harus siap untuk mengucapkan “Goodbye” pada apapun dan siapapun. “Because there’s always GOODBYE in every HELLO, right?”

Lost In Translation?

            Hujan baru saja membasahi tanah di depan rumahku, meskipun aku hanya dapat melihatnya namun rasa riang dari tarian hujan yang turun ke bumi dapat kurasakan hingga ke dalam sela-sela kulitku. Hujan yang sudah lama dinantikan olehku dan mungkin juga oleh banyak orang akhirnya membasuh tanah yang kering kerontang sejak sebulan lalu. Aliran dingin seraya membuat bulu-bulu halus disebagian tubuhku bergidik, sudah lama kesejukan ini tidak kurasakan. Sungguh nikmat sekali. Secangkir kopi hangat yang baru saja kuseduh seakan menambah kenikmatan yang tak terkira. Kuraih buku disampingku sembari kusereput kopi hangat dan membuka kembali halaman yang tadi kutinggalkan sejenak. Akhir-akhir ini, aku memang sering memanjakan diriku dengan hanya duduk di sofa empuk ini sambil membaca buku La Pez dari Albert Camus. Buku yang terkesan depresif ini rasanya memang agak janggal dibaca disaat santai seperti ini, namun inilah aku. Orang yang menikmati saat-saat senggangnya dengan memandang sebuah tragedi sebagai sebuah hiburan yang mengasyikkan. Aneh memang, tapi aku tidak perduli dengan kata tersebut. Aneh hanyalah sebuah kata yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak berani keluar dari kesepakatan yang telah diatur oleh sosial. Kenapa kita harus takut untuk berbeda jika berbeda dapat memberikan warna lain bagi kehidupan yang sarat dengan aturan ini. Mengapa harus menjadi pengikut arus, jika kau bisa menjadi pengatur ombak? Itu yang selalu kulontarkan pada orang-orang yang selalu menganggapku aneh. Itulah hidup, tidak semua orang dapat menerima warna yang kau berikan. Sebab setiap orang seperti sudah terbiasa dan terpaku dengan dua warna. Hanya hitam dan putih. Sungguh membosankan bukan?

            Lembar demi lembar buku telah kulumat, tanpa terasa kurang lebih dua jam telah berlalu. Kopi yang tadinya hangat menjadi dingin dan sudah menyentuh dasar cangkir. Aku melirik ke jam yang tergantung tepat di depanku, tanpa sadar aku sudah melewatkan janji yang harusnya kutepati dari setengah jam lalu. Akupun melompat dari kursi dan bergegas mengambil jaket yang tergantung di sebelah pintu berwarna putih terang yang merupakan jalan keluar bagiku untuk menemuinya. Menemui orang yang pasti sudah menungguku dari sejam yang lalu. Orang yang harusnya tidak perlu menghabiskan waktunya berlama-lama sendirian di sebuah kedai kopi yang berasitektur indah khas zaman renaissance. Aku bergegas keluar sembari menggunakan jaket dan berjalan cepat sambil sesekali mencari taksi yang melintas. Rintik hujan semakin lama semakin menjadi-jadi membasahi jaketku, namun taksi yang sedari tadi kucari belum kutemukan juga. Langkahku semakin kupercepat untuk menghindari basah yang semakin merembes ke dalam bajuku. Aku memutuskan untuk berjalan saja ke kedai kopi yang berada beberapa blok dari rumahku. Hujan yang sedari tadi menemaniku berjalan seperti tidak mau kalah dengan cepatnya langkah kakiku. Semakin cepat aku melangkah, semakin banyak ia jatuh ke bumi. Sepertinya seorang dewi di atas sana sedang bersedih pikirku. Layaknya Juliet yang ditinggal mati oleh Romeo dan memisahkan cinta mereka selama-lamanya. Kurang lebih dua puluh menit aku berjalan, mungkin setengah berlari dan akhirnya aku melihat dari kejauhan kaca kedai kopi yang sedari tadi ingin kutuju untuk menemuinya. Menemui orang yang seharusnya tidak perlu menungguku bila aku tidak lupa akan sekitarku. Kulihat ia sudah menunggu, duduk tepat di depan kaca besar kedai dengan secangkir cappuccino favoritnya. Raut wajah gelisah tampak terlihat dari wajahnya. Pasti ia sudah menungguku sedari tadi dan mulai bosan dengan kesendiriannya. Akupun bergegas mempercepat langkahku untuk segera memasuki kedai yang sudah berada beberapa meter dari hadapanku. Pintu yang sedari tadi terlihat begitu jauh dari jangkauanku akhirnya dapat kuraih dan mendorongnya perlahan untuk dapat memasuki alam renaissance tersebut.

            Wajah penuh penghayatan dari musisi yang selalu mengisi ruangan ini menyambutku dengan hangat. Alunan musik sepertinya membuat para pengunjung tidak sungkan untuk turun dan berdansa bersama orang terkasih. Mereka menyebutnya sebagai musik Jazz, musik yang dulunya hanya dimainkan oleh para pekerja miskin di New Orleans. Aku melangkah kearah ia yang sudah menungguku sedari tadi sambil sesekali melemparkan senyum kepada para tamu yang saling mendekap satu dengan yang lainnya. Ia yang sudah kurang lebih sejam telah menungguku tanpa teman, hanya secangkir cappuccino hangat dan alunan musik. Aku menyentuh pundaknya dan melemparkan senyum sembari meminta maaf atas keterlambatanku yang sebenarnya tidak dapat ditolerir. Ia lantas menoleh dan tersenyum sambil memberikan maafnya kepadaku. Tidak ada rasa marah yang terlihat dari raut wajahnya yang oval. Wajah sempurna dengan bibir tipis dengan warna merah menyala, hidung kecil yang semakin menambah pahatan sempurna wajahnya dan alis yang tebal serta tertata rapi. Ia menyuruhku untuk duduk di depannya dan bertanya kenapa aku begitu terlambat untuk menemuinya. Apakah aku mengalami sesuatu yang besar. Rasanya aku malu untuk mengucapkan alasanku, sebab alasanku akan sangat remeh dan terkesan bodoh. Namun, mau tidak mau aku harus mengatakan kepadanya bahwa aku lupa melihat waktu dan tenggelam di dalam dunia Camus yang begitu mengasyikkan dan membuatku lupa diri. Ia tertawa dan lantas menggerakkan tangan serta mulutnya untuk memberitahuku bahwa ia dapat menerima alasanku. Bahkan ia masih tertawa selama beberapa menit dan membuatku malu untuk mengangkat kepalaku dan melihatnya secara langsung. Tawa lepas dari mulut kecilnya membuatku semakin malu dan akhirnya membuatku ikut tertawa untuk dapat mencairkan rasa malu yang menumpuk sedari tadi di wajahku. Aku tetap menundukkan kepalaku sambil sesekali tertawa tanpa memperhatikan wajah sempurnanya. Toh, tanpa mengangkat kepalaku pun ia masih dapat mengetahui bahwa rona merah sudah hadir di wajahku sedari tadi dan tanpa perlu mendengar suara tawanya pun aku sudah dapat melihat dengan jelas bahwa ia sedang mentertawakanku tanpa henti. Ya, aku memang tuli dan ia memang buta. Namun kami tidak lantas kehilangan arah untuk dapat mengerti satu sama lain. Ia dapat melihatku senang ataupun sedih hanya dengan mendengar suaraku, dan aku dapat melihat ia sedang berliput lara dan bahagia hanya dengan melihat wajah sempurnanya. Bahasa yang dapat dimengerti dan hanya dipahami oleh mereka yang ingin sempurna. Bahasa cinta dan kasih… Kami adalah dua makhluk berkekurangan yang diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi dan menjadi sempurna dengan segala kekurangannya.