Pride and Prejudice?

Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menyikapi hidup. Ada yang terlihat ekspresif dan penuh nafsu, namun tidak sedikit pula yang menghadapinya dengan tenang dan penuh pengahayatan. Sebagai orang yang masuk dalam kategori kedua, terkadang saya dibuat bingung oleh “keharusan” yang mengakar di masyarakat. “Keharusan” yang seolah tercantum dalam traktat hukum mengenai relasi antar manusia. Apakah memang manusia yang utuh harus memperlihatkan semua yang dirasakannya? Bagaimana mereka yang tidak melakukannya? Apakah lantas mereka masuk kedalam kategori benda tak bergerak yang tidak mempunyai perasaan layaknya robot? Mungkin banyak yang akan menjawab “Ya!” Lantas apa perasaan itu sendiri? Bagaimana seseorang dapat mendefinisikan perasaan orang lain, sementara perasaan setiap orang itu berbeda dan tak berwujud. Biasanya yang banyak dilakukan adalah memberikan prasangka terhadap apa yang dialami orang tersebut. Benar? Belum tentu, sebab seperti kata pepatah “Luas lautan dapat ditebak, perasaan orang siapa yang tahu?” Supaya lebih jelas tentang definisi perasaan, maka saya mencarinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan inilah definisi dari kata tersebut:

 

Perasaan pe.ra.sa.an
[n] (1) hasil atau perbuatan merasa dng pancaindra: bagaimanakah menurut ~ mu, badan saya panas ataukah dingin?; (2) rasa atau keadaan batin sewaktu menghadapi (merasai) sesuatu: bekerja dng ~ gembira, hasilnya akan memuaskan; (3) kesanggupan untuk merasa atau merasai: sangat tajam ~ nya; (4) pertimbangan batin (hati) atas sesuatu; pendapat: pd ~ ku, itu tidak benar

 

Setelah melihat definisi di atas, saya menyimpulkan bahwa perasaan itu tidak dapat dilihat apalagi dirasakan oleh orang lain yang tidak merasakan perasaan tersebut. Namun yang sering terjadi, sebagian orang terlihat seolah lebih tahu perasaan yang dirasakan orang lain daripada si penikmat rasa itu sendiri. Kata

Should we?

yang paling tepat untuk mewakili si “sok tahu” tersebut adalah sebuah prasangka yang kemudian berlanjut pada putusan. Setiap orang berhak berprasangka, namun tidak semua prasangka itu berujung kebenaran. Semua yang terlihat tidak ekspresif belum tentu tidak merasakan senang ataupun sedih dan tidak semua yang terlihat ekspresif benar-benar menunjukkan perasaan yang dirasakannya. Sebelum semuanya terlambat, ada baiknya, kita yang suka berprasangka menunda terlebih dahulu putusan yang ingin kita buat. Sebab, tidak semua yang terlihat itu nyata dan yang tak terlihat itu maya. Daripada sibuk menebak-nebak perasaan orang lain, ada baiknya kita menata perasaan kita terlebih dahulu. Sudah benarkah setiap ekspresi yang dilontarkan mewakili perasaan kita?  Dan harus kah setiap perasaan dilontarkan secara ekspresif? Jika kita merasa lebih “hidup” dengan ke-ekspresifan tersebut, silahkan lanjutkan dan terima konsekuensi yang akan terjadi bila ekspresi tersebut akan berbalik menyerang. Jadi, daripada harus repot memperlihatkan ke orang lain, akan lebih arif jika kita menyimpan segala perasaan tersebut dengan penghayatan. Sehingga ketika kesenangan atau kesedihan yang kita rasakan sebelumnya kemudian berubah, kita tidak akan berakhir dengan kalimat: “Maaf, sepertinya perasaan saya salah. Boleh kah saya mengulang ekspresi saya lagi?” Tidak lucu bukan?

Lost In Translation?

            Hujan baru saja membasahi tanah di depan rumahku, meskipun aku hanya dapat melihatnya namun rasa riang dari tarian hujan yang turun ke bumi dapat kurasakan hingga ke dalam sela-sela kulitku. Hujan yang sudah lama dinantikan olehku dan mungkin juga oleh banyak orang akhirnya membasuh tanah yang kering kerontang sejak sebulan lalu. Aliran dingin seraya membuat bulu-bulu halus disebagian tubuhku bergidik, sudah lama kesejukan ini tidak kurasakan. Sungguh nikmat sekali. Secangkir kopi hangat yang baru saja kuseduh seakan menambah kenikmatan yang tak terkira. Kuraih buku disampingku sembari kusereput kopi hangat dan membuka kembali halaman yang tadi kutinggalkan sejenak. Akhir-akhir ini, aku memang sering memanjakan diriku dengan hanya duduk di sofa empuk ini sambil membaca buku La Pez dari Albert Camus. Buku yang terkesan depresif ini rasanya memang agak janggal dibaca disaat santai seperti ini, namun inilah aku. Orang yang menikmati saat-saat senggangnya dengan memandang sebuah tragedi sebagai sebuah hiburan yang mengasyikkan. Aneh memang, tapi aku tidak perduli dengan kata tersebut. Aneh hanyalah sebuah kata yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak berani keluar dari kesepakatan yang telah diatur oleh sosial. Kenapa kita harus takut untuk berbeda jika berbeda dapat memberikan warna lain bagi kehidupan yang sarat dengan aturan ini. Mengapa harus menjadi pengikut arus, jika kau bisa menjadi pengatur ombak? Itu yang selalu kulontarkan pada orang-orang yang selalu menganggapku aneh. Itulah hidup, tidak semua orang dapat menerima warna yang kau berikan. Sebab setiap orang seperti sudah terbiasa dan terpaku dengan dua warna. Hanya hitam dan putih. Sungguh membosankan bukan?

            Lembar demi lembar buku telah kulumat, tanpa terasa kurang lebih dua jam telah berlalu. Kopi yang tadinya hangat menjadi dingin dan sudah menyentuh dasar cangkir. Aku melirik ke jam yang tergantung tepat di depanku, tanpa sadar aku sudah melewatkan janji yang harusnya kutepati dari setengah jam lalu. Akupun melompat dari kursi dan bergegas mengambil jaket yang tergantung di sebelah pintu berwarna putih terang yang merupakan jalan keluar bagiku untuk menemuinya. Menemui orang yang pasti sudah menungguku dari sejam yang lalu. Orang yang harusnya tidak perlu menghabiskan waktunya berlama-lama sendirian di sebuah kedai kopi yang berasitektur indah khas zaman renaissance. Aku bergegas keluar sembari menggunakan jaket dan berjalan cepat sambil sesekali mencari taksi yang melintas. Rintik hujan semakin lama semakin menjadi-jadi membasahi jaketku, namun taksi yang sedari tadi kucari belum kutemukan juga. Langkahku semakin kupercepat untuk menghindari basah yang semakin merembes ke dalam bajuku. Aku memutuskan untuk berjalan saja ke kedai kopi yang berada beberapa blok dari rumahku. Hujan yang sedari tadi menemaniku berjalan seperti tidak mau kalah dengan cepatnya langkah kakiku. Semakin cepat aku melangkah, semakin banyak ia jatuh ke bumi. Sepertinya seorang dewi di atas sana sedang bersedih pikirku. Layaknya Juliet yang ditinggal mati oleh Romeo dan memisahkan cinta mereka selama-lamanya. Kurang lebih dua puluh menit aku berjalan, mungkin setengah berlari dan akhirnya aku melihat dari kejauhan kaca kedai kopi yang sedari tadi ingin kutuju untuk menemuinya. Menemui orang yang seharusnya tidak perlu menungguku bila aku tidak lupa akan sekitarku. Kulihat ia sudah menunggu, duduk tepat di depan kaca besar kedai dengan secangkir cappuccino favoritnya. Raut wajah gelisah tampak terlihat dari wajahnya. Pasti ia sudah menungguku sedari tadi dan mulai bosan dengan kesendiriannya. Akupun bergegas mempercepat langkahku untuk segera memasuki kedai yang sudah berada beberapa meter dari hadapanku. Pintu yang sedari tadi terlihat begitu jauh dari jangkauanku akhirnya dapat kuraih dan mendorongnya perlahan untuk dapat memasuki alam renaissance tersebut.

            Wajah penuh penghayatan dari musisi yang selalu mengisi ruangan ini menyambutku dengan hangat. Alunan musik sepertinya membuat para pengunjung tidak sungkan untuk turun dan berdansa bersama orang terkasih. Mereka menyebutnya sebagai musik Jazz, musik yang dulunya hanya dimainkan oleh para pekerja miskin di New Orleans. Aku melangkah kearah ia yang sudah menungguku sedari tadi sambil sesekali melemparkan senyum kepada para tamu yang saling mendekap satu dengan yang lainnya. Ia yang sudah kurang lebih sejam telah menungguku tanpa teman, hanya secangkir cappuccino hangat dan alunan musik. Aku menyentuh pundaknya dan melemparkan senyum sembari meminta maaf atas keterlambatanku yang sebenarnya tidak dapat ditolerir. Ia lantas menoleh dan tersenyum sambil memberikan maafnya kepadaku. Tidak ada rasa marah yang terlihat dari raut wajahnya yang oval. Wajah sempurna dengan bibir tipis dengan warna merah menyala, hidung kecil yang semakin menambah pahatan sempurna wajahnya dan alis yang tebal serta tertata rapi. Ia menyuruhku untuk duduk di depannya dan bertanya kenapa aku begitu terlambat untuk menemuinya. Apakah aku mengalami sesuatu yang besar. Rasanya aku malu untuk mengucapkan alasanku, sebab alasanku akan sangat remeh dan terkesan bodoh. Namun, mau tidak mau aku harus mengatakan kepadanya bahwa aku lupa melihat waktu dan tenggelam di dalam dunia Camus yang begitu mengasyikkan dan membuatku lupa diri. Ia tertawa dan lantas menggerakkan tangan serta mulutnya untuk memberitahuku bahwa ia dapat menerima alasanku. Bahkan ia masih tertawa selama beberapa menit dan membuatku malu untuk mengangkat kepalaku dan melihatnya secara langsung. Tawa lepas dari mulut kecilnya membuatku semakin malu dan akhirnya membuatku ikut tertawa untuk dapat mencairkan rasa malu yang menumpuk sedari tadi di wajahku. Aku tetap menundukkan kepalaku sambil sesekali tertawa tanpa memperhatikan wajah sempurnanya. Toh, tanpa mengangkat kepalaku pun ia masih dapat mengetahui bahwa rona merah sudah hadir di wajahku sedari tadi dan tanpa perlu mendengar suara tawanya pun aku sudah dapat melihat dengan jelas bahwa ia sedang mentertawakanku tanpa henti. Ya, aku memang tuli dan ia memang buta. Namun kami tidak lantas kehilangan arah untuk dapat mengerti satu sama lain. Ia dapat melihatku senang ataupun sedih hanya dengan mendengar suaraku, dan aku dapat melihat ia sedang berliput lara dan bahagia hanya dengan melihat wajah sempurnanya. Bahasa yang dapat dimengerti dan hanya dipahami oleh mereka yang ingin sempurna. Bahasa cinta dan kasih… Kami adalah dua makhluk berkekurangan yang diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi dan menjadi sempurna dengan segala kekurangannya.