Lost In Translation?

            Hujan baru saja membasahi tanah di depan rumahku, meskipun aku hanya dapat melihatnya namun rasa riang dari tarian hujan yang turun ke bumi dapat kurasakan hingga ke dalam sela-sela kulitku. Hujan yang sudah lama dinantikan olehku dan mungkin juga oleh banyak orang akhirnya membasuh tanah yang kering kerontang sejak sebulan lalu. Aliran dingin seraya membuat bulu-bulu halus disebagian tubuhku bergidik, sudah lama kesejukan ini tidak kurasakan. Sungguh nikmat sekali. Secangkir kopi hangat yang baru saja kuseduh seakan menambah kenikmatan yang tak terkira. Kuraih buku disampingku sembari kusereput kopi hangat dan membuka kembali halaman yang tadi kutinggalkan sejenak. Akhir-akhir ini, aku memang sering memanjakan diriku dengan hanya duduk di sofa empuk ini sambil membaca buku La Pez dari Albert Camus. Buku yang terkesan depresif ini rasanya memang agak janggal dibaca disaat santai seperti ini, namun inilah aku. Orang yang menikmati saat-saat senggangnya dengan memandang sebuah tragedi sebagai sebuah hiburan yang mengasyikkan. Aneh memang, tapi aku tidak perduli dengan kata tersebut. Aneh hanyalah sebuah kata yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak berani keluar dari kesepakatan yang telah diatur oleh sosial. Kenapa kita harus takut untuk berbeda jika berbeda dapat memberikan warna lain bagi kehidupan yang sarat dengan aturan ini. Mengapa harus menjadi pengikut arus, jika kau bisa menjadi pengatur ombak? Itu yang selalu kulontarkan pada orang-orang yang selalu menganggapku aneh. Itulah hidup, tidak semua orang dapat menerima warna yang kau berikan. Sebab setiap orang seperti sudah terbiasa dan terpaku dengan dua warna. Hanya hitam dan putih. Sungguh membosankan bukan?

            Lembar demi lembar buku telah kulumat, tanpa terasa kurang lebih dua jam telah berlalu. Kopi yang tadinya hangat menjadi dingin dan sudah menyentuh dasar cangkir. Aku melirik ke jam yang tergantung tepat di depanku, tanpa sadar aku sudah melewatkan janji yang harusnya kutepati dari setengah jam lalu. Akupun melompat dari kursi dan bergegas mengambil jaket yang tergantung di sebelah pintu berwarna putih terang yang merupakan jalan keluar bagiku untuk menemuinya. Menemui orang yang pasti sudah menungguku dari sejam yang lalu. Orang yang harusnya tidak perlu menghabiskan waktunya berlama-lama sendirian di sebuah kedai kopi yang berasitektur indah khas zaman renaissance. Aku bergegas keluar sembari menggunakan jaket dan berjalan cepat sambil sesekali mencari taksi yang melintas. Rintik hujan semakin lama semakin menjadi-jadi membasahi jaketku, namun taksi yang sedari tadi kucari belum kutemukan juga. Langkahku semakin kupercepat untuk menghindari basah yang semakin merembes ke dalam bajuku. Aku memutuskan untuk berjalan saja ke kedai kopi yang berada beberapa blok dari rumahku. Hujan yang sedari tadi menemaniku berjalan seperti tidak mau kalah dengan cepatnya langkah kakiku. Semakin cepat aku melangkah, semakin banyak ia jatuh ke bumi. Sepertinya seorang dewi di atas sana sedang bersedih pikirku. Layaknya Juliet yang ditinggal mati oleh Romeo dan memisahkan cinta mereka selama-lamanya. Kurang lebih dua puluh menit aku berjalan, mungkin setengah berlari dan akhirnya aku melihat dari kejauhan kaca kedai kopi yang sedari tadi ingin kutuju untuk menemuinya. Menemui orang yang seharusnya tidak perlu menungguku bila aku tidak lupa akan sekitarku. Kulihat ia sudah menunggu, duduk tepat di depan kaca besar kedai dengan secangkir cappuccino favoritnya. Raut wajah gelisah tampak terlihat dari wajahnya. Pasti ia sudah menungguku sedari tadi dan mulai bosan dengan kesendiriannya. Akupun bergegas mempercepat langkahku untuk segera memasuki kedai yang sudah berada beberapa meter dari hadapanku. Pintu yang sedari tadi terlihat begitu jauh dari jangkauanku akhirnya dapat kuraih dan mendorongnya perlahan untuk dapat memasuki alam renaissance tersebut.

            Wajah penuh penghayatan dari musisi yang selalu mengisi ruangan ini menyambutku dengan hangat. Alunan musik sepertinya membuat para pengunjung tidak sungkan untuk turun dan berdansa bersama orang terkasih. Mereka menyebutnya sebagai musik Jazz, musik yang dulunya hanya dimainkan oleh para pekerja miskin di New Orleans. Aku melangkah kearah ia yang sudah menungguku sedari tadi sambil sesekali melemparkan senyum kepada para tamu yang saling mendekap satu dengan yang lainnya. Ia yang sudah kurang lebih sejam telah menungguku tanpa teman, hanya secangkir cappuccino hangat dan alunan musik. Aku menyentuh pundaknya dan melemparkan senyum sembari meminta maaf atas keterlambatanku yang sebenarnya tidak dapat ditolerir. Ia lantas menoleh dan tersenyum sambil memberikan maafnya kepadaku. Tidak ada rasa marah yang terlihat dari raut wajahnya yang oval. Wajah sempurna dengan bibir tipis dengan warna merah menyala, hidung kecil yang semakin menambah pahatan sempurna wajahnya dan alis yang tebal serta tertata rapi. Ia menyuruhku untuk duduk di depannya dan bertanya kenapa aku begitu terlambat untuk menemuinya. Apakah aku mengalami sesuatu yang besar. Rasanya aku malu untuk mengucapkan alasanku, sebab alasanku akan sangat remeh dan terkesan bodoh. Namun, mau tidak mau aku harus mengatakan kepadanya bahwa aku lupa melihat waktu dan tenggelam di dalam dunia Camus yang begitu mengasyikkan dan membuatku lupa diri. Ia tertawa dan lantas menggerakkan tangan serta mulutnya untuk memberitahuku bahwa ia dapat menerima alasanku. Bahkan ia masih tertawa selama beberapa menit dan membuatku malu untuk mengangkat kepalaku dan melihatnya secara langsung. Tawa lepas dari mulut kecilnya membuatku semakin malu dan akhirnya membuatku ikut tertawa untuk dapat mencairkan rasa malu yang menumpuk sedari tadi di wajahku. Aku tetap menundukkan kepalaku sambil sesekali tertawa tanpa memperhatikan wajah sempurnanya. Toh, tanpa mengangkat kepalaku pun ia masih dapat mengetahui bahwa rona merah sudah hadir di wajahku sedari tadi dan tanpa perlu mendengar suara tawanya pun aku sudah dapat melihat dengan jelas bahwa ia sedang mentertawakanku tanpa henti. Ya, aku memang tuli dan ia memang buta. Namun kami tidak lantas kehilangan arah untuk dapat mengerti satu sama lain. Ia dapat melihatku senang ataupun sedih hanya dengan mendengar suaraku, dan aku dapat melihat ia sedang berliput lara dan bahagia hanya dengan melihat wajah sempurnanya. Bahasa yang dapat dimengerti dan hanya dipahami oleh mereka yang ingin sempurna. Bahasa cinta dan kasih… Kami adalah dua makhluk berkekurangan yang diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi dan menjadi sempurna dengan segala kekurangannya.

Permen dan Coklat

Kebahagian mungkin satu kata yang selalu dicari setiap orang. Namun, pernahkah kita bertanya dalam diri kita apa ukuran dari sebuah kebahagian itu sendiri? Mungkin beberapa orang akan berpendapat ketika dia bisa tertawa lepas dan tidak memikirkan tentang kesedihan merupakan sebuah kebahagian. Akan tetapi, buat sebagian orang, kebahagian menurut mereka adalah ketika mereka bisa merasakan kemewahan, ketenaran dan juga hidup nyaman tanpa cela.  Mungkin banyak dari kita yang sependapat dengan makna kebahagian yang disebutkan terakhir. Menurut saya, sah-sah saja jika setiap orang memiliki perspektif yang berbeda mengenai konsep kebahagian itu sendiri, sebab tidak ada ketentuan mutlak seperti layaknya matematika yang pasti di dalam mendefinisikan konsep bahagia. Tapi konsep kebahagian ini kemudian lantas berubah, setelah saya melewati satu kejadian yang membuat saya kembali merekonstruksi apa makna kebahagian itu sendiri.

Disuatu pagi yang bahkan belum bisa disebut pagi, saya menemukan seorang bocah sedang bermain dengan riangnya. Saat itu saya sedang berada di atas kendaraan menuju ke suatu tempat yang saya sebut sebagai tempat ternyaman bagi saya untuk berkontemplasi atau yang biasa disebut banyak orang sebagai rumah.  Lampu lalu lintas  saat itu memaksa saya untuk berhenti sejenak dan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk sampai lebih dulu ke tempat ternyamannya itu. Tanpa saya sadari, seorang anak kecil yang mungkin tingginya sekitar pinggang saya sedang bermain dengan riangnya . Wajahnya memperlihatkan kepolosan dan rona bahagia yang tidak dapat kita temukan pada orang-orang seusia kita yang mungkin sudah banyak terkontaminasi oleh kepentingan dan keuntungan diri. Pelan-pelan anak kecil tersebut mendekati saya, mungkin dia merasa kegembiraannya terusik oleh kehadiran saya yang merusak taman bermain yang sedang dibangun dalam pikirannya. Dengan polos, dia bertanya kepada saya apakah saya punya coklat atau permen? Alangkah terkejutnya saya mendengarkan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah terlintas sebelumnya di benak saya. Dengan senyum getir, saya mengatakan kalau saya tidak memiliki barang yang diminta. Akan tetapi, saya menawarkan uang kepadanya dengan asumsi dia akan mengambil uang tersebut dan membeli barang yang diinginkannya dengan uang yang saya berikan tadi. Namun, jawaban yang dilontarkan olehnya justru membuat saya lebih kaget lagi. Dia menolak pemberian saya dengan alasan kalau dia menginginkan coklat dan permen bukannya uang. Sekali lagi, saya hanya dapat memberikannya senyum getir dan mengatakan kalau saya tidak memiliki permen dan coklat. Setelah mendengarkan jawaban saya, kemudian anak tersebut mengucapkan terima kasih dan melanjutkan kembali konsep taman bermain yang sudah dibangunnya tadi. Dengan lepasnya dia tertawa dan berlari. Tidak ada raut wajah sedih apalagi kecewa dalam air muka nya. Setelah itu lampu lalu lintas pun berganti warna dan itu berarti saatnya saya harus melanjutkan kembali perjalanan menuju tempat ternyaman saya.

Sepanjang perjalanan saya memikirkan keadaan anak tersebut. Rona wajah bahagia yang ditampilkan anak tersebut terus membayangi saya sepanjang perjalanan. Anak yang harusnya mendapatkan masa-masa indah di masa pertumbuhannya, harus merasakan kerasnya kehidupan jalanan. Sementara saya yang selama ini hidup dalam keadaan berkecukupan, masih sering tidak bersyukur dan selalu mengeluh. Namun, malaikat kecil yang saya temui tadi, hanya dengan permen dan coklat saja sudah mendapatkan konsep kebahagian yang selama ini sulit terdefinisi oleh saya. Dari pengalaman ini, kemudian saya merasa bahwa sebenarnya konsep kebahagian yang selama ini saya cari terjawab secara tidak langsung melalui perantara malaikat kecil yang pernha saya temui di perempatan jalan. Intinya, menurut saya, kebahagian itu adalah ketika kita masih bisa mensyukuri hal-hal kecil dan menikmati segala kesusahan yang ada. Tanpa adanya kesusahan pasti tidak akan pernah ada konsep kebahagiaan. Oleh karena itu, disaat kita mendapatkan kesusahan sebaiknya kita menyikapinya dengan bersyukur, sebab disetiap kesusahan  yang ada pasti akan mendatangkan kebaikan dan dari kebaikan tersebut akan berakhir pada kebahagian. Lantas, apakah kebahagian masih menjadi hal yang mewah dan besar? Dengan tegas, saya berkata tidak! Bagaimana dengan anda?

Nyanyian Bahagia

Ruangan gelap ini mengingatkanku pada malam itu. Malam dimana aku mendapatkan siksaan darinya. Tanpa henti dia memukuliku, bahakan terkadang dia tidak segan-segan untuk memuntahkan seluruh air yang mengandung enzym itu ke mukaku. Sungguh tindakan yang tidak terpuji untuk orang yang seharusnya bisa memberikan pendidikan moral yang katanya sangat penting. Terkadang bayangan itu masih menggangguku hingga sekarang. Namun, aku tidak merasakan adanya perbedaan dengan orang lain yang mungkin tidak mendapatkan perlakuan yang sama sepertiku dulu. Bahkan aku melihat mereka lebih buas dari seekor binatang yang katanya tidak memiliki rasio dan akal. Aneh memang, ketika moral yang katanya mereka dapatkan sejak kecil ternyata tidak dapat diterapkan di kehidupannya. Apakah benar moral itu memang harusnya di dapatkan sejak kecil? Tapi kenyataan berbicara lain, banyak orang yang tidak segan untuk mengambil miliki orang lain dengan cara sekotor apapun. Korupsi menjadi hal yang biasa dan permisiv bahkan membunuh pun menjadi pemandangan yang biasa di televisi. Jangan-jangan kecurigaanku benar, kalau mungkin banyak dari mereka yang juga mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang kudapatkan dulu, atau jangan-jangan mereka hanya membiarkan “kebinatangan” mereka lepas bebas tak terbatas. Sungguh hal yang tidak wajar tetapi akhirnya justru menjadi wajar dan biasa saat ini.

Tidurku tidak pernah nyenyak hingga sekarang. Seperti ada beban berat yang selalu bergelayut di pundakku. Tapi aku tidak mengerti bagaimana cara melepaskannya. Apakah aku harus membuang semua kenangan itu? Cara seperti apa yang bisa? Bahkan untuk tidak mengingatnya saja aku masih merasa kesulitan. Kenapa Tuhan membuat hal yang seharusnya tidak boleh terjadi di dunia ini. Kekerasan, penindasan, ketidakadilan atau apapun yang membuat kita merasa tidak nyaman. Apakah ini yang disebut hidup? Sungguh ironis memang, ketika orang-orang berteriak, bahkan sampai harus membuang harga dirinya hanya untuk bisa tetap hidup. Kalau boleh memilih, sebenarnya aku ingin mengakhiri rangkaian cerita ini. Sebuah cerita yang tertulis untukku dan untuk kalian. Sebuah cerita yang aku dan kalian sendiri pun tidak akan pernah tahu kapan akan berakhir. Cerita yang mungkin berakhir bahagia atau berakhir pedih tak terperi. Sudahlah, mungkin tidak perlu menyesali semua yang telah terjadi. Mungkin dunia tidak sekejam yang aku kira, bisa saja nanti aku akan hidup bahagia dengan harta yang melimpah seperti air sungai yang selalu mengalir. Mempunyai keluarga kecil dengan dua anak yang manis juga penurut. Istri yang tidak begitu cantik tapi tetap bisa membuatku bergetar ketika memandangnya. Seperti ketika aku bertemu dengannya pertama kali di ujung stasiun kereta kala itu.

Kemudian senyumku pun mekar dari bibir yang sedari tadi hanya mengatup rapat seperti terjahit. Akan tetapi, lagi-lagi itu hanya sebuah impian, impian yang tidak memiliki kuasa untuk terwujud. Yang kudapatkan justru cercaan dan hinaan untuk seorang anak Tuhan yang bahkan tidak pernah tahu apa artinya bahagia, bahkan untuk merasakan manisnya cinta pun tidak. Sungguh kelam, tapi aku tidak menyesalinya. Terkadang aku merasa hidup yang kudapat sekarang justru lebih baik dari mereka. Mereka yang hidup di dalam kepalsuan topeng-topeng indah yang di cat warna-warni untuk menarik perhatian semua orang. Sungguh hidup yang menjijikan bila harus kujalani, bahkan untuk membayangkannya saja aku sudah muak. Biarlah hidup yang tidak indah ini aku nikmati sendiri. Toh, mereka pun tidak mengerti apa arti indah itu sebenarnya. Mungkin yang ada di benak mereka indah itu adalah ketika kau mendapatkan semua yang kau inginkan. Ada benarnya memang, karena akhirnya aku pun merasakannya sekarang.

Malam ini, tepat di malam dia menghabisiku dengan segala keangkuhannya, aku menemukan kebahagian dan keindahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku akhirnya dapat mengunyah semua kenangan itu dengan lepas dan bebas dengan penuh kebahagian. Bahkan tanpa sadar aku meneteskan air mata, hal yang tidak pernah kulakukan seumur hidupku. Malah air mata ini bukanlah air mata kesedihan atau penyesalan atas semua yang telah kulalui melainkan air mata bahagia. Air mata suka cita yang akhirnya dapat kuluapkan dengan bebas. Dia akhirnya bisa melihatku tersenyum sumringah, lebar, dan tidak bercela. Dia pun begitu, tersenyum simpul dan terkesan malu-malu. Aku tidak tahu apakah dia tersenyum bahagia untukku atau tidak. Orang yang pernah memperlakukanku layaknya binatang, mungkin lebih rendah dari itu, namun aku tidak perduli dengan makna senyum itu, karena aku hanya perduli dengan diriku. Bahagia yang tidak memiliki batas dan ujung, eudomonia kata Plato. Wajahnya terus kupandangi sambil sesekali tersenyum kecil. Kemudian aku membelai rambutnya, sungguh indah – sangat mendebarkan. Aku mulai bosan dan kemudian kulemparkan kepalanya kesudut ruangan. Kini aku mulai mencari hatinya yang hitam, pahit dan anyir kata orang. Setelah aku menemukannya kemudian kukunyah dengan perlahan sambil kunikmati setiap seratnya – sungguh nikmat. Kemudian kusapukan merah yang sedari tadi sudah membasahi lantai, ke mukaku, sungguh segar – nikmat sekali. Aku menggelinjang, seperti ingin mencapai klimaks tapi aku tidak ingin kebahagian ini berakhir sampai disitu. Tangan yang biasanya memukuliku dengan hebatnya kini hanya bisa tertekuk lunglai di tanganku, sesekali kedua tangan yang sudah tidak lagi menyatu dengan tubuhnya itu kumainkan dan kuajak bicara. Membicarakan tentang kenangan yang dulu dia berikan padaku, lucu sekali tangan itu, tidak mempunyai daya, bahkan untuk menolak permainanku. Tawa ku pun berderai dan membahana di seluruh ruangan, aku puas, bebas dan bahagia. Aku tidak sanggup lagi untuk menyembunyikan perasaan gembira ini, sungguh lepas. Semua tubuhnya telah kurasa, aku sudah berada di puncak orgasme ku.

Apakah aku sudah melakukan tindakan ammoral? Mungkin mereka akan serempak berkata “ya kau tidak bermoral, bahkan lebih rendah daripada binatang yang paling buruk sekalipun”. Lantas, kalian pikir aku perduli? Perbuatan ammoral yang kalian tuduhkan padaku tidak akan mengubah semuanya, karena aku sudah menemukan arti bahagia, jadi, terima sajalah. Jika, kalian tidak terima baiklah. Akupun sudah muak dengan semua kemunafikan ini. Sampai jumpa dunia, sampai jumpa binatang-binatang berasio. Sudah cukup kesabaranku melihat kalian dengan wajah manis itu. Kalian tidak lebih daripada sampah yang sulit untuk dihancurkan, mungkin lebih busuk daripada plastik yang memerlukan proses pembusukan lebih lama daripada tubuh kalian. Aku ingin bahagia, bahagia tanpa akhir, ditempat yang kalian sebut surga. Itu pun jika ada, atau mungkin aku akan berada di neraka dan membusuk disana sampai kalian semua menyusulku nantinya. Selamat tinggal semua. Dor !!! peluru menembus kepalaku dan otakku pun ikut memuncratkan isinya dan keluar dari tempatnya bersarang bersamaan dengan cairan merah yang masih segar dan anyir. Akupun pergi dengan senyum tanpa sesal, senyum yang tak pernah terlukiskan sebelumnya. Terima kasih dunia, aku bangga menjadi bagianmu.