Nyanyian Bahagia

Ruangan gelap ini mengingatkanku pada malam itu. Malam dimana aku mendapatkan siksaan darinya. Tanpa henti dia memukuliku, bahakan terkadang dia tidak segan-segan untuk memuntahkan seluruh air yang mengandung enzym itu ke mukaku. Sungguh tindakan yang tidak terpuji untuk orang yang seharusnya bisa memberikan pendidikan moral yang katanya sangat penting. Terkadang bayangan itu masih menggangguku hingga sekarang. Namun, aku tidak merasakan adanya perbedaan dengan orang lain yang mungkin tidak mendapatkan perlakuan yang sama sepertiku dulu. Bahkan aku melihat mereka lebih buas dari seekor binatang yang katanya tidak memiliki rasio dan akal. Aneh memang, ketika moral yang katanya mereka dapatkan sejak kecil ternyata tidak dapat diterapkan di kehidupannya. Apakah benar moral itu memang harusnya di dapatkan sejak kecil? Tapi kenyataan berbicara lain, banyak orang yang tidak segan untuk mengambil miliki orang lain dengan cara sekotor apapun. Korupsi menjadi hal yang biasa dan permisiv bahkan membunuh pun menjadi pemandangan yang biasa di televisi. Jangan-jangan kecurigaanku benar, kalau mungkin banyak dari mereka yang juga mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang kudapatkan dulu, atau jangan-jangan mereka hanya membiarkan “kebinatangan” mereka lepas bebas tak terbatas. Sungguh hal yang tidak wajar tetapi akhirnya justru menjadi wajar dan biasa saat ini.

Tidurku tidak pernah nyenyak hingga sekarang. Seperti ada beban berat yang selalu bergelayut di pundakku. Tapi aku tidak mengerti bagaimana cara melepaskannya. Apakah aku harus membuang semua kenangan itu? Cara seperti apa yang bisa? Bahkan untuk tidak mengingatnya saja aku masih merasa kesulitan. Kenapa Tuhan membuat hal yang seharusnya tidak boleh terjadi di dunia ini. Kekerasan, penindasan, ketidakadilan atau apapun yang membuat kita merasa tidak nyaman. Apakah ini yang disebut hidup? Sungguh ironis memang, ketika orang-orang berteriak, bahkan sampai harus membuang harga dirinya hanya untuk bisa tetap hidup. Kalau boleh memilih, sebenarnya aku ingin mengakhiri rangkaian cerita ini. Sebuah cerita yang tertulis untukku dan untuk kalian. Sebuah cerita yang aku dan kalian sendiri pun tidak akan pernah tahu kapan akan berakhir. Cerita yang mungkin berakhir bahagia atau berakhir pedih tak terperi. Sudahlah, mungkin tidak perlu menyesali semua yang telah terjadi. Mungkin dunia tidak sekejam yang aku kira, bisa saja nanti aku akan hidup bahagia dengan harta yang melimpah seperti air sungai yang selalu mengalir. Mempunyai keluarga kecil dengan dua anak yang manis juga penurut. Istri yang tidak begitu cantik tapi tetap bisa membuatku bergetar ketika memandangnya. Seperti ketika aku bertemu dengannya pertama kali di ujung stasiun kereta kala itu.

Kemudian senyumku pun mekar dari bibir yang sedari tadi hanya mengatup rapat seperti terjahit. Akan tetapi, lagi-lagi itu hanya sebuah impian, impian yang tidak memiliki kuasa untuk terwujud. Yang kudapatkan justru cercaan dan hinaan untuk seorang anak Tuhan yang bahkan tidak pernah tahu apa artinya bahagia, bahkan untuk merasakan manisnya cinta pun tidak. Sungguh kelam, tapi aku tidak menyesalinya. Terkadang aku merasa hidup yang kudapat sekarang justru lebih baik dari mereka. Mereka yang hidup di dalam kepalsuan topeng-topeng indah yang di cat warna-warni untuk menarik perhatian semua orang. Sungguh hidup yang menjijikan bila harus kujalani, bahkan untuk membayangkannya saja aku sudah muak. Biarlah hidup yang tidak indah ini aku nikmati sendiri. Toh, mereka pun tidak mengerti apa arti indah itu sebenarnya. Mungkin yang ada di benak mereka indah itu adalah ketika kau mendapatkan semua yang kau inginkan. Ada benarnya memang, karena akhirnya aku pun merasakannya sekarang.

Malam ini, tepat di malam dia menghabisiku dengan segala keangkuhannya, aku menemukan kebahagian dan keindahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku akhirnya dapat mengunyah semua kenangan itu dengan lepas dan bebas dengan penuh kebahagian. Bahkan tanpa sadar aku meneteskan air mata, hal yang tidak pernah kulakukan seumur hidupku. Malah air mata ini bukanlah air mata kesedihan atau penyesalan atas semua yang telah kulalui melainkan air mata bahagia. Air mata suka cita yang akhirnya dapat kuluapkan dengan bebas. Dia akhirnya bisa melihatku tersenyum sumringah, lebar, dan tidak bercela. Dia pun begitu, tersenyum simpul dan terkesan malu-malu. Aku tidak tahu apakah dia tersenyum bahagia untukku atau tidak. Orang yang pernah memperlakukanku layaknya binatang, mungkin lebih rendah dari itu, namun aku tidak perduli dengan makna senyum itu, karena aku hanya perduli dengan diriku. Bahagia yang tidak memiliki batas dan ujung, eudomonia kata Plato. Wajahnya terus kupandangi sambil sesekali tersenyum kecil. Kemudian aku membelai rambutnya, sungguh indah – sangat mendebarkan. Aku mulai bosan dan kemudian kulemparkan kepalanya kesudut ruangan. Kini aku mulai mencari hatinya yang hitam, pahit dan anyir kata orang. Setelah aku menemukannya kemudian kukunyah dengan perlahan sambil kunikmati setiap seratnya – sungguh nikmat. Kemudian kusapukan merah yang sedari tadi sudah membasahi lantai, ke mukaku, sungguh segar – nikmat sekali. Aku menggelinjang, seperti ingin mencapai klimaks tapi aku tidak ingin kebahagian ini berakhir sampai disitu. Tangan yang biasanya memukuliku dengan hebatnya kini hanya bisa tertekuk lunglai di tanganku, sesekali kedua tangan yang sudah tidak lagi menyatu dengan tubuhnya itu kumainkan dan kuajak bicara. Membicarakan tentang kenangan yang dulu dia berikan padaku, lucu sekali tangan itu, tidak mempunyai daya, bahkan untuk menolak permainanku. Tawa ku pun berderai dan membahana di seluruh ruangan, aku puas, bebas dan bahagia. Aku tidak sanggup lagi untuk menyembunyikan perasaan gembira ini, sungguh lepas. Semua tubuhnya telah kurasa, aku sudah berada di puncak orgasme ku.

Apakah aku sudah melakukan tindakan ammoral? Mungkin mereka akan serempak berkata “ya kau tidak bermoral, bahkan lebih rendah daripada binatang yang paling buruk sekalipun”. Lantas, kalian pikir aku perduli? Perbuatan ammoral yang kalian tuduhkan padaku tidak akan mengubah semuanya, karena aku sudah menemukan arti bahagia, jadi, terima sajalah. Jika, kalian tidak terima baiklah. Akupun sudah muak dengan semua kemunafikan ini. Sampai jumpa dunia, sampai jumpa binatang-binatang berasio. Sudah cukup kesabaranku melihat kalian dengan wajah manis itu. Kalian tidak lebih daripada sampah yang sulit untuk dihancurkan, mungkin lebih busuk daripada plastik yang memerlukan proses pembusukan lebih lama daripada tubuh kalian. Aku ingin bahagia, bahagia tanpa akhir, ditempat yang kalian sebut surga. Itu pun jika ada, atau mungkin aku akan berada di neraka dan membusuk disana sampai kalian semua menyusulku nantinya. Selamat tinggal semua. Dor !!! peluru menembus kepalaku dan otakku pun ikut memuncratkan isinya dan keluar dari tempatnya bersarang bersamaan dengan cairan merah yang masih segar dan anyir. Akupun pergi dengan senyum tanpa sesal, senyum yang tak pernah terlukiskan sebelumnya. Terima kasih dunia, aku bangga menjadi bagianmu.

6 thoughts on “Nyanyian Bahagia

  1. wow! seru vik! hmm, hampir mirip nuansanya kaya salah satu tulisan gue juga. tema yang lo angkat sangat menarik dan manusiawi. tapi tetep ya, tolong diperhatikan teknis penulisan. hehehe. masih ada sedikit yang salah vik. but over all, you did a great job! 😉

  2. key says:

    AWESOME :))
    this one is such an extraordinary story .
    btw, where did you get the inspiration of your story ?
    keep writing vicky ! best wishes 😀

    • Thank you..I’m so glad to hear that. The inspiration just came up when I typed. It came from my imagination and viewing a lot of things about what people feels and do when they see the unfair condition in our life..Anyway, do you have a blog? Maybe I can read yours? Once again,thanks for your appreciation. Don’t get bored to stop by 🙂

Leave a comment